Rabu, 11 Februari 2009

Ironi Partai Golkar

Partai Golkar meradang lantaran secarik pernyataan. Bila pernyataan itu meluncur dari seteru, "gempa politik" yang dihasilkan mungkin akan kecil saja. Tapi, tersebab pernyataan itu berasal dari sekutu, yaitu Partai Demokrat, efeknya lumayan panjang dan memantik kehebohan.

Beberapa hari lalu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyatakan, Partai Golkar hanya bakal memperoleh suara 2,5 persen dalam Pemilu 2009. Mendengar ini, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla kontan bereaksi keras. Buru-buru para petinggi Demokrat meralat.

Lebih jauh, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu menggelar jumpa pers mengenai hal ini. Inti pernyataannya: Demokrat tak melecehkan Golkar. "Partai Golkar adalah sahabat dekat Partai Demokrat," kata Yudhoyono. Mubarok pun ditegur.

Dan, inilah sisi lain dari kehebohan tersebut: ironi membekap Partai Golkar. Semua pasti ingat bahwa Golkar adalah pemenang pemilu legislatif 2004. Mereka tak mengulangi kekalahan pada Pemilu 1999, saat takluk oleh PDI perjuangan. Suara yang diraup pada 2004 mencapai 21,58 persen. Bandingkan dengan Demokrat yang hanya mendulang 7,45 persen. Ironisnya, sampai hari ini, partai Beringin itu tak kunjung menetapkan kata final soal calon presiden.

Rapat Pimpinan Nasional Golkar pada Oktober 2008 memang memunculkan nama calon kandidat yang akan diusung pada pemilihan presiden. Di antaranya, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Akbar Tandjung, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Agung Laksono, dan Aburizal Bakrie. Problemnya, dalam banyak survei, tingkat keterpilihan mereka relatif jauh di bawah Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri.

Ketiadaan "jagoan" semakin memicu keterbelahan sikap di internal Golkar. Sikap pertama, menghendaki Golkar menjagokan kader sendiri sebagai calon presiden. Barangkali mereka beranggapan, hasil survei tak mencerminkan realitas sesungguhnya. Atau, merefleksikan kenyataan tapi bisa diubah dengan kerja keras jaringan partai se-Indonesia. Sikap kedua, merasa "puas" ketika Golkar cuma mengusung kadernya sebagai calon wakil presiden. Inilah kalangan yang mencoba berdamai dengan kenyataan. Ketika kekalahan telah bisa diprediksi dan tak terhindarkan, kenapa memaksakan diri?!

Di tengah-tengah situasi itu, beberapa kader Golkar justru dicalonkan partai lain. Sebut saja Sultan dan Paloh. Menyangkut manuver Sultan, sebagian elit Golkar sudah mulai resah. Kepada TEMPO, Kalla meminta Sultan memperjelas posisi terkait rencananya untuk bergabung dengan PDI Perjuangan sebagai pendamping Megawati.

Ironi lain adalah soal penjaringan calon presiden itu sendiri. Golkar masih dibelit perbedaan pendirian: memilih cara konvensi atau non-konvensi. Politisi senior Akbar Tandjung dan para pendukungnya bersikeras bahwa konvensi adalah cara terbaik menemukan kader yang tepat untuk diterjunkan. Selain itu, konvensi mencegah perpecahan karena setiap kader punya peluang yang sama untuk maju selaku calon.

Sebaliknya, kubu Kalla teguh pada pendirian bahwa konvensi tidak dibutuhkan. Alasannya, sejauh bisa dipantau di media massa, konvensi meminta ongkos sangat besar. Kedua, pemenang konvensi Golkar terdahulu, yaitu Wiranto, toh gagal juga memenangi pemilihan presiden 2004.

Golkar telah malang-melintang di percaturan politik sejak Orde Baru masih "kanak-kanak." Tapi, kematangan agaknya belum tergapai sepenuhnya. Bahkan soal mekanisme penetapan calon presiden saja masih dipertikaikan. Memang harap diingat, selama Orde Baru, partai ini menikmati privelese luar biasa. Tak perlu berkeringat, Golkar pasti menang. Memanfaatkan aparatus birokasi, misalnya, Golkar merambah hingga ke tingkat desa. Pada saat bersamaan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dilarang beraktivitas mulai dari tingkat kabupaten/kotamadya ke bawah. Dalam bahasa ilmuwan politik dari Ohio State University, Bill Liddle, "Pemilu-pemilu Orde Baru adalah pengukur kehendak rakyat yang tak sempurna."

Ketika era reformasi datang dan kompetisi terbuka terbentang, Golkar mesti berbenah diri dari awal. Boleh jadi, dampak buruk proteksi selama Orde Baru akhirnya dirasakan mereka belakangan ini. Jika sekadar mementahkan sinyalamen peraihan 2,5 persen suara, itu ibarat membalikkan telapak tangan. Namun, berjaya di kancah pemilihan presiden adalah hal yang sama sekali berbeda situasinya buat Golkar.

Yus Ariyanto
Koordinator Liputan6.com

Tidak ada komentar:

Bookmark and Share

Posting Komentar